Rabu, 21 Juli 2010

Sungai Cimanuk dan Impian Para Penangkap Ikan

Sungai Cimanuk yang mengalir dari Gunung Papandayan, Kab. Garut dan bermuara di Kab. Indramayu, tinggal menunggu waktu. Ya, jika bendungan raksasa Jatigede di Kab. Sumedang sudah terwujud kelak, aliran sungai legendaris itu akan lenyap. Akan berubah menjadi bentangan danau amat luas, yang menelan sedikitnya tiga wilayah kecamatan di Kab. Sumedang, yaitu Wado, Cadasngampar, dan Darmaraja.

Genangan danau buatan tersebut akan berimbas ke bagian hulu. Paling tidak di Kec. Cipasang dan Cibugel, Kab. Sumedang serta Kec. Selaawi, Kab. Garut. Walaupun tidak berupa danau seperti di bagian hilir, aliran Sungai Cimanuk di lokasi-lokasi itu akan ngajumbleng. Tidak deras lagi seperti sekarang. Sebagai contoh, aliran Sungai Citarum di kawasan Rajamandala, Kab.Bandung Barat dan Sungai Cisokan di Kec.Ciranjang, Kab.Cianjur, yang tertahan oleh genangan Waduk Cirata.

Kalau sudah begitu, hilanglah sudah impian indah para pencari ikan. Mulai dari penggemar mancing, tukang lintar, pemasang bubu dan badodon (bubu besar), hingga tukang marak (menangkap ikan dengan tangan kosong), yang sejak dulu memanfaatkan aliran deras Sungai Cimanuk untuk mencari aneka ikan, baik untuk kesenangan maupun untuk mencari nafkah.

Kelestarian Sungai Cimanuk masih agak lumayan dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Jawa Barat yang sudah "wassalam". Seperti Sungai Citarum dan sungai-sungai penampung limbah lainnya, yang tampak membangkai tanpa dihuni seekor ikan pun lagi.

Sejak bertahun-tahun lampau, bahkan mungkin berbilang abad, Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk merupakan tempat berdiamnya ikan-ikan liar yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Terutama pada musim kemarau -- mulai April hingga Agustus -- Sungai Cimanuk menjadi tempat "pesta" dadakan. Air sungai surut dan bening merupakan saat yang tepat untuk menangkap aneka jenis ikan dengan berbagai cara. Para pemancing berdatangan dari mana-mana, termasuk dari perkotaan. Meluangkan waktu empat lima malam "begadang" di sisi sungai, menunggu umpan disambar ikan.

Jenis-jenis ikan favorit dan khas Cimanuk antara lain lika atau kancra, jongjolong, balar, beureumpanon, arelot, kehkel, soro, genggehek, dan lain-lain yang benar-benar liar. Ada juga ikan "kaburan" dari kolam atau sawah yang bedah terkena banjir, yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sungai. Seperti ikan emas, nilem, tawes, mujaer, sepat, dll.

Beberapa dasawarsa terakhir, muncul pula ikan-ikan hasil rekayasa genetik. Seperti lele dumbo, grascrap, patin, dll. yang memperkaya koleksi ikan sungai, sekaligus membawa pengaruh negatif karena diduga keras ikan-ikan "model baru" itu merusak lingkungan sungai beserta isinya. Ikan-ikan jenis ini terlalu rakus memakan segala macam sehingga membuat ikan-ikan asli tersisih. Bahkan, sebagian mulai punah, seperti arelot dan kehkel -- sejenis ikan lele lokal -- yang kalah bersaing dengan lele dumbo.

Para pemancing atau tukang lintar, juga pemasang bubu dan badodon selalu berharap mendapat ikan asli. Walaupun hanya seekor balar sebesar telapak tangan yang diperoleh, akan lebih menggembirakan daripada mendapat lele dumbo atau ikan patin sebesar betis orang dewasa. Tarikan ikan asli yang menyangkut pada pancing berbeda dengan tarikan ikan pendatang. Ikan asli, walaupun kecil, perlawanannya sangat kuat. Tarik-ulur di dalam air, sebelum berhasil diseret ke darat, betul-betul mengundang sensasi tersendiri. Istilahnya adug-lajer. Sementara ikan pendatang biasa-biasa saja. Bahkan, cenderung pasrah tak berdaya. Ngagebog alias mirip batang pisang kena tebang. Juga dalam soal rasa. Ikan asli gurih dan lezat. Dagingnya padat pepal. Tidak beyetek (lunak) dan hambar.

**

Tempo dulu, ada guguritan Pupuh Pucung, menggambarkan kehidupan tukang mencari ikan di Sungai Cimanuk (atau juga Citarum). Menggambarkan tukang lintar memperoleh tangkapan ikan genggehek atau soro. Kemudian ikan-ikan dibakar. Dijadikan cobek dengan bumbu kencur, jahe, garam, dan gula. Dijadikan kawan nasi pulen. Betul-betul nikmat.

Hayu batur urang lintar ka Cimanuk
Sugan bae meunang
Genggehek atawa soro
Lamun meunang urang buru-buru
panggang
Dicobek sambarana make cikur
Cengek uyah gula
Kade jahe ulah poho
Dicocolna ku kejo nu pulen pisan.

Tahun 2010 ini, musim hujan masih terus berlangsung. Air Sungai Cimanuk masih terus membengkak dan keruh. Belum ada tanda-tanda kemarau datang. Para penangkap ikan harus sabar menanti hingga hujan benar-benar tidak turun lagi.

Jika musim hujan tidak kunjung berakhir dan pengerjaan Waduk Jatigede cepat selesai, mungkin para penangkap ikan di bagian hulu Sungai Cimanuk akan cukup kecewa. Mereka tidak akan lagi menemukan air deras menerpa batu-batu tarengtong tempat ikan bermain mencari makan. Tidak akan lagi menemukan leuwi (lubuk) dengan sisi-sisi tebingnya yang rimbun dedaunan, tempat ikan-ikan besar semacam kancra berenang tenang sambil nyantokan berbagai jenis plankton yang menempel pada daun-daun yang terkulai ke permukaan air.

Jika sudah berubah menjadi bagian dari genangan waduk raksasa, dengan segala dampak dan akibatnya, para penangkap ikan tradisional Sungai Cimanuk mau tak mau harus mengikuti situasi dan kondisi baru yang mungkin kurang mengesankan daripada yang sudah-sudah.

Sumber Pikiran Rakyat Online

1 komentar:

Solichin mengatakan...

Salam Kenal ........
Mungkin cerita indah Cimanuk itu akan tinggal kenangan, namun sepanjang kita berusaha utk memanfaatkan nya demi kelangsungan hidup manusia, tidak ada salah nya kita terus memberdayakannya secara bijak

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes